Kembali Turun ke Sembalun - Catatan Pendakian Gunung Rinjani #5
full-team |
Rinjani seolah
tiada henti menampakkan keindahannya. Setelah menempuh perjalanan turun
dari summit attack, saya dan teman seperjuangan lainnya menikmati
senja di Pelawangan. Ketika sampai di camp area, Amak—sebutan porter Rinjani—dengan
gercep langsung menyuguhi kami dengan nasi-mie-telur. Sungguh nikmat, terasa
kurang sih tapi udah dijatah jadi mesti di sumpel lagi sama bekal sendiri hehe.
Cuaca yang
tadinya gerimis saat saya hampir sampai di camp area tiba-tiba
menjadi cerah kira-kira setelah tiga puluh menit berlalu. Sunset mulai
tampak di jajaran bukit yang mengelilingi Danau Segara Anakan. Tepat sekali
warnyanya kuning keemasan. Moment ini kami manfaatkan untuk
berfoto-foto. Benar-benar terasa lengkap di Rinjani ini.
Pada malam
harinya saya nyamper ke tenda Kak Dwi yang meminta dikerokin karena masuk
angin. Dikarenakan kurang enak badan, Kak Dwi memutuskan tidak melakukan summit
attack lalu beralih menikmati Pelawangan sepanjang hari. Lepas
mengerok, saya diajak bermain domino pakai kartu seketika saya teringat kartu
UNO yang saya bawa. Secepat kilat saya bawakan kartu tersebut dan dimulailah
persaingan sengit saling membalas dendam. Beberapa lainnya berdatangan termasuk
Haziq dari tenda sebelah. Kami tetapkan aturan yang kalah akan menerima
ganjaran : di-bedak-in atau di-lipstik-in. Kocak memang. Satu persatu mendapat
giliran kalah, baiknya, saya enggak kebagian, wakaka. By the way,
terima kasih manteman yang ikut bermain saat itu menjadikan malam dingin begitu
hangat.
Malam yang
sangat syahdu hingga membuat saya nyenyak tertidur juga karena keletihan
setelah naik dan turun puncak Rinjani. Paginya saya terbangun dengan disambut
cuaca yang begitu cerah. Seketika saya keluar tenda lalu melihat pakaian dan
beberapa gear lainnya sudah memenuhi atap tenda untuk dijemur.
Buru-buru saya keluarkan gear saya untuk dijemur juga,
berharap akan kering sehingga tidak terlalu memberatkan beban keril nanti
ketika turun.
Baca juga >> Gagal menggapai 3.726 mdpl
Matahari kian meninggi, langit kian cerah kebiru-biruan lengkap dengan awan-awannya nan cantik. Menu sarapan pagi itu menarik secara outlook, nasi goreng sayur. Lagi-lagi memang porsinya sangat pas, pengin nambah tapi apa daya enggak tega sama yang lain yang katanya juga pengin nambah, hehe. Jadi selama pendakian ini kayaknya kami kelaparan terus gaes.
Indahnya
pemandangan pagi menjelang siang saat itu tidak bisa lagi saya ungkapkan dengan
kata-kata. Benar-benar memanjakan mata. Masyaallah.
Saya berkali-kali kagum. Apakah ini nyata bahwa saya sudah sampai di sini, eh,
akhirnya ke sini, ke Rinjani. Suatu hal yang tadinya rasanya enggak mungkin.
Tadinya pengin Semeru dulu baru Rinjani. Ketertarikan terhadap Rinjani tidak
sekuat ketertarikan kepada Semeru. Tapi malah Rinjani duluan yang saya
samperin. Tetap bersyukur saja, mungkin one day, I will be there,
Ranu Kumbolo – Semeru – Mahameru.
Sinar matahari
yang hangat mampu mengusir dinginnya Pelawangan. Di sisi kanan dari tenda, ada
pohon-pohon tinggi yang sepertinya sebuah “sarang” pembuangan. Saya yang
kebelet langsung menyendiri masuk ke sana. Ternyata benar adanya, tisu
dimana-mana, seperti namanya ya “sarang pembuangan akhir”.
Kemudian saya
ikut geng Karawang yang berjemur tidak jauh dari lokasi pohon itu. Karena adem
jadi kami gelar matras di sana lalu tidur-tiduran sambal ngobrol dan nyemil.
Tak lama datang seekor monyet yang mengintai cemilan. Tak tega, kami coba beri
sedikit namun seorang teman mengingatkan untuk tidak terlalu kasihan karena
khawatir akan menjadi kebiasaan bagi mereka. Memang sudah jadi hal biasa jika
teman-teman sekalian sangat mudah menemukan monyet di Pelawangan. Mereka
terkenal suka mengintai lalu mengambil makanan di dalam tenda. Jadi, selalu
berhati-hati saja agar tidak kelaparan berlarut-larut. Di Pelawangan enggak ada
warung soalnya, eh bukan, tepatnya di pendakian Rinjani enggak ada warung.
Baca juga >> Terjebak luapan air bah di pos 3 Rinjani - Sembalun
Sekitar pukul
delapan pagi kami sudah diminta prepare packing untuk turun.
Jika saat itu pukul delapan, maka di Jakarta pukul tujuh. Hmm, memang
direncakan bahwa kami akan turun di pagi hari mengingat jalur turun ke Sembalun
cukup panjang. Kami bergegas mengepak barang-barang ke dalam keril. Sebelum
turun tentu tidak lupa untuk berfoto bersama semua personil yang kurang lebih
lima puluhan jumlahnya. Rame yahh.
Beberapa Amak
sudah lebih dulu turun dengan membawa banyak perlengkapan dapur. Beliau-beliau
turunnya masih dengan setelan sarung dan sandal jepit swallow.
Kayaknya brand satu ini tidak asing lagi bagi mereka. Dengan
sigap mereka turun dengan santuy meninggalkan kami yang masih
terbata-bata dengan jalurnya. Saya mencoba menyeimbangkan ritme langkah dengan
geng Karawang, kami berlari tipis-tipis. Sesekali kami berhenti untuk
beristirahat. Beberapa teman lainnya sudah melesat jauh ke bawah. Seperti uji
nyali kekuatan lutut dan tumitnya.
Tujuh Bukit
Penyesalan terlalui, hingga sampai kembali di pos 3. Sungai yang dua hari lalu
meluap sudah mengering sehingga kami dapat melewatinya dengan mudah. Tiap pos
kami sempatkan untuk ngaso sebentar, sekadar menikmati perjalanan. Entah kapan
bisa kembali kan, jadi perjalanan turun sungguh dinikmati sebaik mungkin.
Pukul 10.30 WITA kami hampir sampai di pos 2. Kabut mulai turun membuat jarak pandang pendek. Kami bergegas untuk tiba di pos dua sebelum hujan turun. Akhirnya dua puluh lima menit kemudian kami sampai di pondok-pondok pos 2.
Amak-amak sudah
siap dengan menu masakannya siang itu. Tidak lama saya gogoleran di pondok,
sepiring mi goreng ayam datang. Kami makan dengan agresif wakaka. Lapar sekali
ya Allah, mi gorengnya jadi enak tiada dua. Memang tidak diragukan,
masakan Amak terkenal seantero pendaki Rinjani.
Baca juga >> Padang Savana Sembalun
Tidak lama waktu berselang, kami—saya dan geng Karawang—kembali melanjutkan perjalanan turun. Perjalanan turun ke pos 1 diwarnai dengan cuaca mendung. Kami was-was akan turun hujan lebat karena awannya sangat gelap seperti ingin memuntahkan air banyak. Ternyata dugaan kami benar. Sesaat lepas landas dari pos 1, hujan turun begitu derasnya hingga membuat kami pasrah basa kuyup, sekuyup-kuyupnya. Seolah sepatu dan jas hujan tidak terlalu berfungsi lagi. Terima nasib.
Saat kami tiba
di Bukit Pemanasan, hujan sudah mereda. Namun pakaian masih basah dan beberat
keril terasa cukup berat karena menampung air hujan. Perjalanan ke basecamp
terus kami lanjutkan dengan bersenda gurau di sepanjang jalan. Rasanya sangat
lega, tiga hari perjalanan pendakian Rinjani akhirnya berujung sehat walafiat
sampai di rumah singgah. Setiap detik yang berlalu sangat berharga tidak mampu
dihargai dengan uang sekalipun. Experience is expensive. Antara
satu pengalaman ke penglaman lainnya tentu tidak akan sama meskipun di tempat
yang sama, karena waktu tidak akan pernah sama.
Baca juga >> Pertama kali menginjakkan kaki di tanah Lombok
Jika diberi kesempatan lagi, saya ingin sekali mengunjungi Rinjani kembali. Mesti nginap di danau dan via jalur yang lain. Menurut informasi yang beredar, jalur lain juga tidak kalah indah dan asyiknya. Terlebih jalur Torean dengan keindahan air terjunnya yang sangat ciamik. Jadi, apakah ada yang tertarik join bareng? Gaskeun lah hayuk.