Rancaupas selalu menarik untuk dikunjungi, terlebih untuk kegiatan camping. Pada Juli 2020, saya kembali memutuskan untuk menghabiskan weekend dengan berkemah ceria di Rancaupas bersama teman-teman. Kali ini kami menyewa mobil agar lebih leluasa untuk transport. Beberapa anggota berangkat dari Jakarta lalu menyisir ke Karawang. Bagi saya, ini adalah kesempatan ke-tiga kali berkemah di Rancaupas. Dan sepertinya menjadi yang terakhir dulu sampai saya menuliskan catatan perjalanan ini pada Nov 2021.
Schedule ngaret dari perencanaan. Mulanya ingin tiba di lokasi sebelum waktu asar, namun aktualnya kami sampai tepat pada waktu magrib. Bumi perkemahan Rancaupas begitu ramai kala itu. Kami terbilang telat karena sejauh mata memandang tidak tampak lahan kosong. Tenda warna-warni meluap hingga mencium tepian jalan. Suara riuh rendah bersahutan dari berbagai titik. Dan warna oranye sunset membuat siapa saja yg berada di sana menjadi terpukau. Tentu saja saya langsung mengabadikan moment itu. Tak mau kalah saing, hehe. Kami akhirnya jalan agak jauh ke ujung depan lalu berbelok ke kiri dari pagar besi penangkaran rusa. Lumayan sepi di sana. Langsung saja kami dirikan tenda mengingat waktu sudah berganti dari terang ke gelap.
Kami bergantian ke kamar kecil untuk bersih-bersih dan menunaikan ibadah. Sejurus kemudian kami siap untuk menyantap dinner ala kemping ceria. Salah satu menu baru yang saya trial-kan saat kemah kala itu adalah memasak ubi rebus.
Sepanjang malam kami ngobrol ngalor-ngidul bertemankan api unggun. Beberapa teman yang saya ajak masih belum saling kenal, jadi judulnya makrab dulu ceunah yah. Nah, kalau di Rancaupas ini asyiknya bisa jajan cemilan karena banyak warung. Mulai dari menu sejuta umat kemah iyaitu mie rebus tentunya, aneka gorengan, nasi goreng, nasi telor, jagung bakar, serta aneka minuman. Warung-warung tersebut juga jualan kayu untuk dibakar. Jadi area kemah Rancaupas memang prefer untuk bikin api unggun. Saat itu harga kayu sebesar Rp 15.000 per ikat.
Hari semakin malam dan kami kembali masuk ke tenda masing-masing setelah bosan bermain api unggun.
Dinginnya Rancaupas saat itu begitu menusuk. Konon informasinya memang pada musim kering atau kemarau, suhu di Rancaupas akan menjadi lebih dingin daripada musim hujan. Begitu juga faktanya dengan kondisi cuaca di daerah pegunungan, dingin tapi tidak lembab. Kadang memang suatu hal itu ada poin kurang dan lebihnya. Jika trekking saat musim kemarau, maka view-nya jadi lebih dapet dan langit cerah namun suhu menjadi lebih dingin. Sebaliknya jika trekking saat musim hujan akan cenderung basah dan lembab juga view biasanya cerah sebentar saat pagi hari saja. Bagaimana menurut teman today sekalian? Cenderungnya lebih menikmati yang mana kah?
Kejadian yang cukup menarik namun agak mengesalkan adalah ketika saya ditinggal sendiri di tenda sampai waktu subuh datang. Pasalnya yang lain sudah kabur duluan saat jam tiga pagi ke area parkiran. Ada yang kabur masuk ke mobil untuk menghindari suhu dingin. Ada pula yang nebeng di warung untuk menghangatkan diri. Yang ini ceritanya pura-pura jajan, haha. Nyatanya saya pulas sekali meski memang suhunya agak nyelekit yah. Brrrr.
Hari kedua berkemah di Rancaupas kami luangkan dengan memasak semua makanan yang tersisa. Mulai dari bebikinan dadar telur, sayur, orek tempe pake sambel, tentu tidak lupa dengan buah segar. Kegiatan memasak saat berkemah merupakan salah satu hobi yang saya jadikan sebagai healing, hehe.
Karena diburu waktu, setelah menikmati area sekitar dengan berfoto bersama, kami bergegas packing barang untuk kembali ke Jakarta. Tidak lupa kami mampir sebentar untuk makan ayam penyet sambel ijo favorit saya ketika dulu bekerja di daerah Kopo. See you next time yah Rancaupas.
Berikut video amatir (_hehe) petulangan kami berkemah dua hari satu malam di Rancaupas pada Juli, 2020. Boleh banget subscribe, like dan komen kok, manga, hehe.