Telaga dewi, Ranu Kumbolo-nya Singgalang - Gunung Singgalang adalah pengalaman pertama-nya
saya melakukan pendakian gunung. Sempet ragu se ragu-ragunya untuk ikut
rombongan karena saya sendiri memang mengidap tekanan mental ketinggian alias
takut ketinggian. Sampai sekarang jadi penasaran apa sih penyebab seseorang
bisa takut ketinggian, karna takut jatuh? Jatuh banget??Wk.
Kebanyakan orang yang sudah ahlinya nya melakukan
pendakian gunung sekitaran Sumbar bilang kalau trayek pendakian Gn. Singgalang
ga banget buat pemula. Apalagi yang seperti saya, yang sangat sangat bin sangat
amateur dalam dunia pendakian. Kondisi medannya dipercaya lebih berat daripada
Marapi apalagi Talang. Well, Kerinci katanya lebih dewa beratnya dari
gunung-gunung tadi. Marapi dan Talang menjadi tujuan favorit para pendaki
selingkup Sumatera Barat dan sekitarnya. Terlebih Talang, bisa PP alias pulang
pergi dalam sehari, hehe.
Pendakian pertama ini saya sangat excited,
maklum first experience. Segala hal jadi pengen dibawa, takut kedinginan, takut
kehujanan, takut kepanasan, takut kegelapan, takut jatuh, apalagi takut ditinggal
huhu. Rombongan bisa dibilang cukup besar, ada bersepuluh lebih orang. Jadilah
kita sharecost cuma Rp 50.000 per kepala untuk segala kebutuhan pendakian. Mulai
dari biaya transportasi, simaksi, logistik dan lainnya. Sebagai pemula saya
cukup nyaman dan aman dalam rombongan ini, karena kebanyakan sudah yang
berpengalaman.
Perjalanan dimulai dari kampus Universitas
Andalas. Meetpoint kita di jurusan sendiri. Butuh waktu tempuh kurang lebih 2,5
jam dari Padang ke Koto Baru Bukittinggi. Kita gowes menggunakan sepeda motor dengan
kecepatan tak tentu untuk sampai di basecamp pendakian Gunung Singgalang. Rata-rata
para pendaki dalam kota memang menggunakan sepeda motor untuk transportasi ke
tempat basecamp. Katanya lebih efisien dan menyenangkan.
Bagi para pendaki yang berasal dari luar kota, dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) bisa menggunakan transportasi umum seperti bis yang isi nya 15-17 orang dari Simpang Duku BIM ke Kotobaru Bukittinggi cukup kasih Rp 22.000 aja. Nanti turun di Gerbang Kenagarian Pandai Sikek, kira-kira 50 meter sebelum Pasar Koto Baru yang ditandai sama warung yang jualan kebutuhan mendaki. Dari Pasar Kotobaru bisa jalan kaki aja (haha) tapi lumayan jauh sekitar setengah jam menggunakan kendaraan untuk sampai ke basecamp, titik awal pendakian, nah saya saranin sewa ojek aja gitu, yakalo ada.
Bagi para pendaki yang berasal dari luar kota, dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) bisa menggunakan transportasi umum seperti bis yang isi nya 15-17 orang dari Simpang Duku BIM ke Kotobaru Bukittinggi cukup kasih Rp 22.000 aja. Nanti turun di Gerbang Kenagarian Pandai Sikek, kira-kira 50 meter sebelum Pasar Koto Baru yang ditandai sama warung yang jualan kebutuhan mendaki. Dari Pasar Kotobaru bisa jalan kaki aja (haha) tapi lumayan jauh sekitar setengah jam menggunakan kendaraan untuk sampai ke basecamp, titik awal pendakian, nah saya saranin sewa ojek aja gitu, yakalo ada.
Tim saya sampai di pos pendakian awal setelah Isya. Perjalanan dengan sepeda motor membuat anggota tim cukup lelah hingga disepakati kami camp malam itu. Terlebih mengingat anggota wanita yang newbie cukup banyak jumlahnya, harap maklum!
Malam pertama camp di kaki gunung berasa
something bagi saya. Dingin. Menusuk. Gelap. Tapi syukur masih nyenyak tidur
hingga pagi.
Sunrise di Kaki Gunung Singgalang
Udaranya begitu dingin, dan
katanya jika diatas puncak nanti akan lebih dingin dari ini. Waaaa, gak
kebayang, soalnya di kaki gunung begini aja udah kedinginan, Akhirnya subuh dating. Ya subuh itu indah dan kala itu dia bermula dari matahari yang
datang dari balik Gunung Marapi. Azan subuh terdengar dari kejauhan, dari
segala penjuru wilayah Padang Panjang dan Bukittinggi. Satu persatu lampu-lampu
penerang saat tengah malam tadi mulai hilang dan berganti dengan sinaran
matahari. Dan saya menjadi sangat rindu gunung dengan salah satu agenda
wajib mendaki, memasak. Hal yang membuat saya sangat gembira kaya anak kecil
dapat mainan baru, memasak di gunung.
Menu yang dibuat pun seperti sangat
nikmat ketika masih berada di kaki gunung, panas-panas. Bahhh, ga bisa diungkapin selezat
apa padahal yang dimasak ya menu andalan pendaki, mie-sosis-nugget-sarden dan
kawankawannya. To be honest, it’s more delicious than pizza or something like
that, etapi dengan syarat ya dimasak di gunung, yep.
Habis beberes dari camp semalam, tim langsung
bergegas untuk melakukan perjalanan. Saat itu sekitar pukul 10 pagi. Doa
bersama dulu. Semoga perjalanan lancar jaya, dan pulang dengan selamat.
Sesaat kemudian wajah sumringah habis makan
lezat langsung jadi pucat pasi. Baru aja beberapa meter. Ya Tuhaan, ternyata
begini, begini namanya yang naek gunung. Rasanyaa… kaga kuat. Perut kembung
seketika jadi keras ngebatu karna habis diisi full tenk. Hadeh, padahal baru
beberapa meter aja. Saya dalam hati berkecamuk, pingin pulang, udah aja. Tapi
ya ga mungkin, masa gitu aja udah nyerah. Nah! Itu dia feel nya naek gunung.
Kalau dikata sama mas jalanpendaki: Fall seven times, stand up eight! Maknanya,
biarpun jatuh berkali-kali tetapi harus bangkit, dan jangan jatuh lagi. Duh,
jatuh ya. Ck.
Seiring berjalannya waktu saya mulai terbiasa
mengikuti irama langkah kaki anggota lainnya. Jujur lah, saya gak mau di cap
sebagai gampang lemah, masa gitu aja udah nyerah. Ya gak lah! Jangan! Hehe. Beberapa
kali saya merasakan sesak napas karna baru mencoba rasanya bernapas di hutan,
eh di gunung. Hembusan napas keluar lewat hidung semua, padahal kan bagusnya
keluar lewat mulut perlahan-lahan. Maapkeun belum terbiasa, yap pantes karna
jarang olahraga juga jadi ga bisa atur napas dengan baik dan benar.
Ya, pendakian dari tempat camp
sebelumnya membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam lebih untuk mencapai kaki
cadas. Kami sampai di kaki cadas Gunung Singgalang sekitar jam 3 sore dan baru
melanjutkan pendakian pukul 4 sore. Kala itu teman-teman kelelahan dan butuh
istirahat sebelum menaklukan cadas. Jadinya semua bobok cantik dulu di kaki
cadas. Pules, pake banget. Sampe mikir camp nya disini aja, ga usah ke telaga.
Yakali mau camp sendirian disana, ck.
Naik terus, tau-tau udah nyampe di cadas.
Katanya lokasi camp kedua berada di balik bukit cadas. Ya, cadas itu. Mau
nangis aja rasanya ngeliat cadas yang aduhai tinggi dan curamnya. Serasa ga mau
ikut lagi, haha ampun. Lalu benar saja, saya benar-benar merangkak di cadas.
Sesaat udah hampir selesai penderitaan bersama cadas, menengoklah saya ke arah
belakang. Ngeri, kawan. Gunung Marapi berdiri kokoh disana. Laksana ingin
menerkam yang kemudian saya bayangkan dalam pikiran, macam harimau aja mau
menerkam. Ck.
Kondisi medan selanjutnya agak becek-becek gak
karuan karena lumpur yang menipu. Tak apa lah sepatu non safety jadi korban
asal kaki tetap safety. Lumpur demi lumpur dilalui, kadang ada yang kecebur
sebadan-badan akibat kena tipu lumpur. Terkadang ada yang kakinya dimana eh
sepatu nya dimana karna ketinggalan di lumpur. Ada juga yang sangat sigap biar
ga kena tipu lumpur, dan mereka adalah golongan-golongan yang sudah
berpengalaman dengan dunia tipu menipu kondisi medan pendakian gunung.
Hingga akhirnya saya merasa putus asa sesaat,
mungkin juga anggota tim lainnya. Sudah mau magrib, sudah hampir gelap! Tapi
badan belum jua sampai di tujuan. Yang lain sesekali menyemangati –dikit lagi,
ayo dikit lagi- perasaan saya dari awal menanjak tadi bilangnya dikit lagi
terus, yha. Huft. Gak cuma lumpur yang menipu, tapi yang nginjak lumpur juga
suka nipu, yahah.
Telaga dewi, serupa tapi sama dengan Ranu Kumbolo
Telaga cantiknya Gunung Singgalang. Saya
menyebutnya Ranu Kumbolo-nya Gunung Singalang. Cantik. Hati damai dan tentram
jika melihat cerminan pepohonan sekitar yang tergambar di air telaga itu.
Lokasi tepi telaga dewi adalah lokasi camp favorit bagi pendaki karena dekat
dengan sumber air. Rata-rata tenda-tenda akan tersebar di setiap tepian telaga.
Namun tanah tepi telaga agak gembur, bisa becek banget kalau lagi hujan, jadi
kurang nyaman aja kalau mau camp. Mending cari lokasi yang agak jauh dari tepi
telaga. Di telaga dewi kita bisa menikmati sunset nya Gunung Singgalang yang
keren abis kalau cuaca lagi bersahabat.
Tower di puncak Gunung Singgalang.
Butuh
perjalanan kurang dari sejam untuk mencapai tower karena tracknya “lumayan”
heavy karena sana-sini banyak tumbuhan lumut bisa dibilang hutan lumut yang
licin. Saya sempat tidak sanggup karena oksigen kian menipis. Ya, saya
merasakan sesak napas karena kurangnya asupan oksigen yang efeknya
pusing-pusing sedikitlah. Agak cekit-cekit minta balik ke telaga lagi tapi
lagi-lagi ga mungkin balik sendirian, ck. But, finally MT. SINGGALANG 2877
MDPL!! Oyea, Akhirnya saya pernah mencoba merasakan pengalaman mendaki gunung,
sampe puncaknya, meski puncak gunung yang ini selayaknya ga bisa dibilang
puncak karena cuma ada tower doing, kesel, tapi yaudasih, yang penting bisa
muncak, ahehe.
Perjalanan
turun dari telaga dewi, kembali bertemu cadas. Kali ini bukan ngerakak tapi
ngesot, haha. Yang ada bokong jadi korban. Nyampe di basecamp kembali udah
serasa ga punya bokong. Kayak udah digerus tanah, haha, ga deng. Turun
gunung lebih asik menurut saya daripada naik. Yawla, kalo turun gunung mah
lutut berasa longgar, kalo naik engsel berasa copot.
Pendakian
gunung emang capek, pake kebangetan. Pulang-pulang udah berasa jadi kakek nenek
yang badannya udah reot, susah di apa-apain. Tapi itu mah cuma sesaat. 1-3 hari
aja cukup merasakan penderitaan dari pendakian gunung, habis itu, yang
benar-benar kerasa banget feel perjalanannya, bakal KANGEN, pake BANGET BANGET.
See
you all di cerita muncak selanjutnya, Jangan rindu saya, rindu gunung aja,
haha, Bye.