Lombok, I’m in Love - Pendakian Gunung Rinjani #1
Lombok, I’m in Love - Pendakian Gunung Rinjani #1 - Akhirnya
tulisan ini saya mulai juga setelah tepat satu tahun pendakian Rinjani berlalu….
Tidak pernah
terpikirkan sebelumnya untuk mengunjungi Gunung Rinjani, karena hasrat akan
Semeru masih pol seratus persen penasaran tergiur Ranukumbolo. Bermodal nekad
segera saya hubungi admin @sheltergarut untuk mendaftar menjadi peserta open
trip Gunung Rinjani pada 28 Desember 2019 – 1 Januari 2020. Beberapa teman saya
coba hubungi barangkali ada yang bisa ikut trip bareng. Ini salah satu bagian
yang agak menguras pikiran: ketidakpastian. Mulanya ada yang sangat berminat
dan saya menjadi ikut semangat 45 memberikan segala informasi yang sudah saya
riset sebelumnya. Namun pada akhirnya saya berangkat seorang diri. Iyaa sudah,
bagian yang perlu perhatian saat punya agenda trip bersama teman adalah
kemungkinan cancel.
Kapan lagi kan?
Pikir saya saat memutuskan tidak mudik pada akhir tahun itu. Lagipula tahun
sebelumnya saya juga tidak mudik namun memilih menghabiskan libur panjang akhir
tahun dengan kegiatan camping ceria di Rancaupas bersama teman satu angkatan
kuliah yang sebut saja “anak rantau baru”. Memang sudah diagendakan bahwa akhir
tahun adalah waktunya untuk explore alam dan….me time.
Perjalanan ke Lombok
Berangkatlah
saya dari Stasiun Senen menumpang Dharmawangsa ekonomi ke Surabaya. Ini pertama
kalinya saya naik kereta jarak jauh lagi setelah terakhir pada tahun 2015
perjalanan Yogyakarta – Jakarta. Detail perjalanan ke Surabaya akan saya
tuangkan dalam blogpost khusus nantinya yah.
Seorang sahabat
karib menyarankan saya untuk singgah terlebih dahulu di Bali. Setelah pikir
panjang akhirnya saya mengiyakan sarannya. Baiknya, saya dikenalkan dengan
temannya yang sedang bekerja di Bali. Maka jadilah agenda satu hari satu malam
di Bali. Lagi-lagi cerita unik di Bali akan saya posting terpisah ya.
Cuaca yang
bagus menyertai penerbangan saya dari Denpasar ke Praya pada siang hari. Sungguh
langit sangat cerah dan indah. Pertama kalinya juga saya terbang bersama
Garuda. Kesannya sangat nyaman. Seingat saya harga tiket Garuda Bali-Lombok saat
itu adalah lima ratus ribu untuk flight siang hari dengan waktu tempuh 30
menit. Tiada henti saya melihat pemandangan di bawah sana dari kaca pesawat. Jatuh
cinta pada pandangan pertama. Lombok, I’m in Love.
Sesekali saya
capture pemandangan tersebut, kamera hp
tentunya on aeroplane mode. Sekilas terlihat Pulau Lombok sangat unik . Bukit-bukit
kecil di tepi laut. Air laut yang membiru. Duh, sampai sulit sekali memilih
padanan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan cantiknya Lombok.
Selang 30 menit
berlalu, akhirnya landing di Praya. Ohiya, sebelum flight saya sempat
menghubungi salah satu member open trip yang memilih meetpoint di bandara. Sesampainya
di Bandara kami saling mengabari agar berkumpul di tempat yang sama. Jadilah sampai
saat ini kami disebut sebagai geng bandara.
Sembari menunggu
kedatangan anggota lainnya, beberapa dari kami yang sudah sampai berkumpul di
depan bangunan bandara. Bandara ini terbilang lumayan luas dibanding Halim. Namun
sama-sama tidak seramai Soetta. Mudah sekali untuk menemukan orang di sini. Saat
menuju jalan keluar, seperti halnya di bandara pada umumnnya, kami langsung
disambut oleh bapak-bapak ataupun abang-abang jasa travel. Di tempat lainnya
juga terlihat orang-orang menunggu kedatangan sanak saudaranya.
Dari Praya – Mataram – Sembalun
Satu jam dua
jam berlalu. Akhirnya geng bandara ini sudah lengkap. Mobil jemputan dari pihak
open trip sudah sedari tadi menunggu. Lalu satu per satu kami menyusun strategi
agar muat badan dan keril di dalam mobil unik ini. Mobil jemputan ini terlihat
sejeni carry, di dalamnya ternyata banyak terpasang stiker-stiker bertandakan
pecinta gunung. Sepertinya mobil ini sudah langganan pendaki.
Sekilas memang
terlihat seperti mobil tua, tapi bapak pengemudinya sangat lihai. Meski di awal
perjalanan saya sempat spanning karena saya pikir style mengendarainya sejenis
ugal-ugalan. Namun makin lama makin lumayan nyaman. Bapak drivernya sangat
lihai membawa mobil.
Kami mampir
dulu ke Kota Mataram menjemput satu orang peserta open trip lagi yang katanya
sudah tiba dari semalam lalu memilih menginap di penginapan dahulu. Perjalanan ke
Mataram saya sempat tertidur sepertinya karena lumayan jauh dari bandara ke
Mataram. Setelah pick up peserta, mobil langsung bertolak menuju Desa Sembalun.
Satu dua tiga
hingga lebih dari empat jam berlalu. Kami menyusuri Jalan Mataram – Jalan Anjani
– Jalan Segara Anak. Tepat pada waktu maghrib kami berhenti sejenak di Masjid
Besar Al-Mujahidin Aikmel, Lombok Timur untuk melaksanakan kewajiban sekaligus
makan siang – malam, ehmm. Menakjubkan. Posisi masjid ini tepat sekal berada di
perempatan Pasar Aikmel. Saat azan berkumandang, seketika anak-anak, remaja,
bapak-bapak, ibuk-ibuk berbondong-bondong menuju masuk ke dalam masjid.
Yang terlintas
dipikiran saya kala itu adalah mereka kenapa ya? Saya belum terkoneksi dengan
azan tadi, karena memang sungguh sangat jarang bahkan hampir tidak pernah saya
melihat moment itu di manapun sebelumnya. Subhanallah, saya langsung terharu
saat sudah menyadari ketekaitan antara azan dan berbondong-bondongnya orang-orang
berlari masuk masjid. Ah, sekali lagi. Aikmel,
Lombok, I’m in love.
Kami menyusuri
Jalan Wisata Gn. Rinjani saat lepas maghrib. Trek jalan nya mirip dengan
Sitinjau Lauik di Padang, yaitu berkelok-kelok dan naik-turun. Mobil melaju
pelan dengan jalanan menanjak terus. Tiba pada suatu tanjakan yang lumayan
terjal, sesuatu berbunyi dari belakang mobil. Dukk. Kami panik. Lampu jalan
tidak ada, kiri-kanan hanya terlihat pohon besar mungkin sejenis pohon cemara yang
sedang menggersang. Jalan sepi sekali, bahkan pada waktu itu hanya mobil yang
kami tumpangi ini berada di jalan tersebut.
Bapak pengemudi
menahan rem mobil khawatir kalau-kalau mobil mundur. Kemudian kami segera
keluar dari mobil. Ternyata isi bagasi mobil keluar. Keril-keril kami
berjatuhan dan ada yang menggelinding. Suasana saya rasakan agak mencekam
karena tidak ada kendaraan lain yang lewat, kiri-kanan seperti hutan dan gelap
hanya ada lampur sorot mobil. Rasanya kayak di film horor, haduh.
Sesegera mungkin
kami rapihkan kembali keril-keril dan menutup rapat pintu belakang mobil. Terlepas
dari itu semua, ternyata mobil ini tangguh. Tanjakan-tanjakan dan hutan-hutan
berlalu. Sampailah kami di jalan yang sudah banyak pemukiman. Tak lama, meski
saya sempat tertidur sebentar, akhirnya kami sampai di rumah singgah. Saya pikir
seperti basecamp gunung pada umumnya, ternyata benar-benar rumah warga yang
sengaja diperuntukkan untuk singgah-nya para pendaki Gn. Rinjani. Perihal
penentuan rumah mana yang mendapat giliran untuk dijadikan rumah singgah
ternyata sudah diputuskan bersama oleh ketua RT setempat dan pihak open trip. Jadi
teman-teman, dari sinilah salah satu pencaharian warga Sembalun, yaitu penyedia
rumah singgah.
See you on next
Pendakian
Gunung Rinjani #2.